Chemonk yang punya nama asli Dede ini pernah punya pengalaman tidak mengenakan dengan CDI full programable. CDI
macam ini memiliki mapping yang boleh disetting sesuai keinginan.
Karena motoer harian dan termasuk korek harian, tidak ada patokan
kurvanya, settingan malah ngaco. “Maunya kencang, motor malah sudah
kehabisan nafas lebih dulu,” ujar Chemonk yang mengganti CDI standard Kawasaki Ninja 150.
Sebab tidak seluruh item settingan bisa diterapkan pada korek harian, apalagi mesin standar. Karena
untuk harian, medan yang ditempuh bervariatif. Ada pelan, sedang, dan
kencang. Malah kadang diam kelamaan, karena jalanannya macet. Padahal
CDI racing diciptakan untuk putaran yang sudah terukur.
Maka dianjurkan cukup menggunakan CDI racing yang tanpa settingan kurva. CDI jenis itu hanya bermain pada pergeseran limiter dan timming pengapian. Justru model yang begini dan harga yang tidak terlewat mahal yang terpakai pada korek harian.
Sementara CDI dengan full 'utak-atik' akan terasa efeknya jika dipakai di sirkuit, entah di road race, grasstrack ataupun drag, “Karena
jalur yang ditempuh tidak berubah, jadi mekanik dan pembalap bisa
mematok putaran mesin setiap jarak. Kenaikkan putaran mesin bisa
disesuaikan per 100 rpm. Itu
pun settingan harus diubah menghadapi sirkuit yang beda,” timpal Ibnu
Sambodo, tunner kawakan dari tim Kawasaki Manual Tech yang menggunakan
CDI Rextor full programmable.
Makanya untuk korek harian yang hanya sebatas pasang knalpot racing dan menaikan kompresi, cukup
pakai CDI racing tanpa program. Kalaupun ingin memilih yang bisa di
setting, guanakan utak-atiknya telah disiapkan produsennya. Pengguna
tinggal pilih sesuai tingkatannya, bukan memasukan kurva yang bikin
puyeng. Di pasaran tipe ini di jual dari Rp 500 ribu – Rp 1 juta dan full racing harganya sentuh Rp 3 juta dan bahkan lebih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar